Selasa, 20 Desember 2011

Kukejar Ayamku Sampai Ke Negeri China (CHAPTER 4 : ADA CINTA DALAM BUS KOTA)

“Sudahlah, Mus. Nggak usah ngelamunin Ayam terus.”
Itulah kata temen-temen ke gue yang lagi melongo nggak jelas. Ayam, adalah sebutan keren untuk Meima yang mulai saat itu ngetrend di pembicaraan gue dan temen-temen gue untuk nyembunyikan identitas Meima. Di facebook, gue dan mereka juga biasanya pake sebutan “Ayam”.
Karena gue jarang ketemu sama Meima, gue jadi sering bengong. Tapi, dibalik kebengongan yang gue lakuin, gue sebetulnya lagi mikir gimana cara agar gue bisa ketemu dan deket dengan Meima untuk yang kedua kalinya.
Dan gue mulai berpikir alasan gue jarang ketemu Meima di bus karena Meima akhirnya jadi naik motor, seperti yang dia omongin ke temannya pas hari Kamis dulu pas gue ngejalanin misi pertama gue di dekatnya. Atau, gue jadi berpikir Meima numpang ke truk (baca:bonek). Karena, pas hari Kamis dulu, dia juga cerita begitu. Tapi gak mungkin sih, dia kan anak cewek. Gue gak bisa bayangin hal itu.

Gimana caranya anak cewek yang pake rok panjang naik ke truk yang baknya agak tinggi coba?
Dan, gue juga mikir gimana caranya di pen(d)ekatan kedua gue bisa nuntasin misi kedua gue untuk minta nomor ponsel Meima.
Gue takut kalau sampai kejadian yang akan gue alamin buat minta nomor ponsel Meima justru sama dengan kejadian yang dialamin Thrisna.
Thrisna pernah bantu Maria, temen cewek kita, untuk minta nomor ponsel ke mas-mas, dan Thrisna sebelumnya belum tahu kalau mas-mas itu ternyata…bisu.
“Mas, boleh minta nomor ponselnya?” kata Thrisna dengan gayanya yang seolah memikat mas-mas itu.
Orang itu ngejawab, “Awhawhawha..blubblubblubblub”
“Apa mas?” Jawab Thrisna yang ngerasa gak paham diomongin pake bahasa setingkat bahasa Ethiopia.
“Awhawhawha..blubblubblubblub” mas-mas itu ngejawab dengan jawaban yang sama.
Thrinsa pun berniat ngelanjutin pembicaraan dengan omongan random, “Itu lho mas. Cewek itu yang minta.”, kata Thrisna sambil nunjuk-nunjuk si Maria.
“Awhawhawha..blubblubblubblub”
Jujur saja, gue yang waktu itu nemenin Thrisna juga nggak tahu apa yang diomongin mas-mas itu. Gue juga belum tahu kalau mas-mas itu bisu, gue kira kuping gue ini sudah harus diservisin.
“Apa mas?” Thrisna nggak ngerti lagi apa yang diomongin mas-mas itu.
Lalu, mas-mas itu pun ngambil ponselnya, dan mengetikkan “Kudus?” lalu diperlihatkan ke Thrisna.
“Ya, mas. Gimana mas, boleh minta nomornya nggak?”
Mas-mas itu ngeluarin kata pamungkasnya lagi, “Awhawhawha..blubblubblubblub”..
Thrisna sudah pasrah dan memutuskan untuk nggak ngelanjutin pembicaraan.
Mampus deh, malah ganti Thrisna yang bisu, tanpa satupun kata terucap dari mulutnya. Thrisna gagal ngebantu Novi ngedapetin nomor ponsel mas-mas itu.
Tapi, gue sih masih wajar saja, lebih mendingan bicara sama orang bisu daripada bicara sama orang tuli
Nah, gimana kalau nanti pas gue minta nomornya Meima, kejadiannya malah kayak gitu?
Gue musti bagaimana? Gue harus nglakuin apa? Gue anak siapa?
Gue jadi semakin bingung seiring gue juga gak enak sama Thrisna yang baru saja break sama pacarnya dan justru masih ngebantu gue sampe sekarang.

Galau menjadi makanan sehari-hari gue selain 4 sehat 5 sempurna, dan sekarang pun jadi 4 sehat 5 sempurna 6 derita.
Saking gak tentunya gue sama perasaan gue sendiri, pas hari Sumpah Pemuda gue justru lupa bawa topi buat upacara di sekolah.
Geblek.
Gue ngerasa geblek banget, gue pemuda Indonesia tapi lupa sama harinya sendiri. Hari Sumpah Pemuda. Ah, mungkin emang dari sononya, gue itu orang yang pelupa.
Gue langsung panik. Gue kirim SMS ke temen-temen gue, berharap gue dapet topi. Tapi, hasilnya nihil.
Gue panik stadium 4. Gue pasrah saja, dan berharap koperasi siswa buka sebelum upacara dimulai.
Gue coba cari-cari siasat gimana caranya gue terbebas dari derita gue ini?
Apa gue nanti harus nggak ikut upacara dan sembunyi di toilet yang baunya bakal bikin hidung gue kempes dan ilang?
Atau gue nyerahin diri gue ke pihak yang akan nyiksa gue habis-habisan?
Gue merinding.
Gue pun putuskan untuk nulis status facebook dan nyritain kegeblekan gue kalau gue lupa bawa topi. Dan, gue berharap ada temen-temen gue yang mau minjamin topi ke gue.
Dan akhirnya…
Kepanikan gue hilang pas akhirnya gue baca komentar dari Kavit, temen sekelas gue, di status gue dan dia berniat baik meminjami topi untuk gue yang malang ini.
Gue gak bisa mikir banyak gimana jadinya gue tanpa Kavit dan topinya yang meskipun kekecilan buat kepala gue yang emang kebesaran. Kavit emang kayak malaikat penolong gue waktu itu.
Gue terbebas dari kepanikan.
Pas hari Sumpah Pemuda itu, gue bareng sama Meima di bus. Dan seperti biasanya, gue ada di belakang sementara dia ada di depan.
It’s so sick.
Tapi, gue sebetulnya gak ada rencana buat ngedeketin Meima di hari itu, karena pas hari Jumat dia jarang naik bus yang sama dengan bus yang gue naikin. Gue hanya bareng Meima biasanya pas hari Selasa – Kamis saja.
Gue sudah seneng banget bisa lihat dia yang sudah nggak pernah ketemu gue selama hampir satu minggu.
Waktu dia sudah turun dari bus, gue pun nglihatin dia dari jendela belakang bus. Gue ngerasa waktu itu dia tampil agak beda. Alasan pertama : mungkin emang gara-gara gue jarang ketemu sama dia jadi gue ngliat dia beda, alasan kedua : mungkin gue emang mupeng dan ganjen kalau lihat dia.
Agak mendingan gue nih, daripada kejadian yang dialamin Fandy saat gue dan dia lagi boncengan tiga sama Khan.
“Wah, wah.. Lihat tuh, cewek bahenol lagi naik sepeda.” kata Fandy dengan nada semangat pas nglihat seorang cewek naik sepeda dengan gaya seksi dari kejauhan.
Tapi, pas akhirnya kita lewatin cewek itu, ternyata cewek yang dianggap oleh Fandy bahenol itu adalah nenek-nenek tua dan wajahnya sudah keriputan.
Gue dan Khan hanya bisa tertawa ngakak waktu itu. Fandy harus nahan malu, karena malahan mupeng sama cewek tua.
Kejadian sama juga pernah dialamin oleh Fandy juga, tapi yang ini masih mendingan. Kejadian ini terjadi ketika gue sama dia dan Thrisna lagi jalan barengan.
“Wah, lihat tuh, cewek seksi naik motor, pake celana pendek.” kata Fandy antusias pas nglihat orang yang dianggap cewek lagi naik motor pake celana pendek banget.
Pas deket, eh ternyata malah cowok. Fandy juga harus nahan malu pas kejadian itu.
Entah, kejadian apa lagi yang akan dialamin Fandy suatu hari nanti yang akan menjadi cerita memalukan yang ketiga kalinya. Mungkinkah dia akan ketemu dan mupeng sama banci suatu hari nanti?
Gue tunggu tingkah kocak elo selanjutnya, Fan.
Masih mending gue sama Meima kan?
Waktu gue mandangin Meima pas itu, dia tiba-tiba malah ngelihat gue. Waktu terasa berjalan begitu lambat di saat seperti itu.
Gue langsung salah tingkah. Gue langsung alihkan pandangan gue.
Shock.
Pertemuan yang singkat dengan Meima sudah bikin gue agak seneng.
Keesokan harinya, pas hari Sabtu, gue berharap bisa ketemu Meima lagi di bus pas berangkat sekolah. Tapi, harapan gue akhirnya kandas. Gue nggak ketemu sama Meima.
Pas pulang sekolah juga gue nggak mungkin ketemu karena Meima sudah pulang lebih dulu.
Jadi, pas pulang sekolah, gue, tim sukses gue, dan Fandy pun berniat pada pesta makan-makan di MAB (Mie Ayam Bakar), tempat gue dan mereka biasa kunjungin untuk manjain lidah.
Selesai makan-makan, kita nunggu bus untuk pulang ke rumah.
Bus yang kita tunggu lama nggak datang-datang. Dan akhirnya kita memutuskan untuk numpang truk. Ubed pun menanyai kesediaan om sopir agar kita dapat menumpang truknya. Untungnya om sopir ngijinin kita numpang truknya.
Jujur, waktu itu adalah pengalaman pertama gue numpang truk. Gue nggak malu tuh kalau dilihat orang. Gue rasa, mental yang gue punya saat itu sudah sampai di tingkat puncak, yaitu mental gila.
Semuanya berkat Meima semenjak kejadian pas Kamis itu. Gue nggak takut sama apapun semenjak itu, selain sama Tuhan gue sendiri dan orang tua gue.
Gue berhasil ngerasain hal yang sebetulnya pengen Meima rasain juga, untuk numpang di truk. Gue nggak malu nglakuin apapun selama hal itu masih wajar. Kalau hal yang nggak wajar, elo pasti nyuruh gue lari-larian sambil telanjang bulet di jalanan.
Gue nggak sudi disamain sama binatang, biarpun gue sering dipanggil dengan sebutan nama binatang. Dan gue justru biasanya seneng disebut-sebutin dengan nama binatang.
Banyak sebutan untuk gue, diantaranya adalah Unta. Nggak tahu kenapa, gue dipanggil unta. Mungkin karena kaki gue yang emang panjangnya lebih panjang dari badan gue, sehingga kalau berjalan, gue lebih mirip sama badut sirkus yang kakinya dipasangin enggrang.
Dan, untuk sebutan yang sedang ngetrend untuk gue pas itu, yaitu Kambing. Semua itu hanya gara-gara tulisan di meja kelas gue yang bertuliskan “Kambing” dengan arah panah nunjuk ke gue yang ada di deket meja itu.
Naas deh gue.
Untuk sebutan-sebutan hewan yang dipredikatkan ke gue, gue ambil sisi positifnya, karena Meima sendiri pun mempunyai sebutan “Ayam”. Sehingga, kambing dan ayam nantinya semoga akan bisa saling akrab, meskipun di pikiran orang lain itu nggak mungkin karena keduanya berbeda.
Tapi yang penting kan sama-sama hewan ternak, ya nggak?
Saat perjalanan numpang truk itu, gue jadi terngiang-ngiang lagu "A7X - Dear God", secara perjalanan yang gue rasain waktu itu hampir mirip video klipnya. Ngelewatin jalanan yang tandus tanpa ditemani oleh seseorang yang sangat dibutuhin kehadirannya.
Tapi, hanya saja kalau ini direkam dan dibuat video klip, judulnya bukan lagi “Dear God” tapi malah ntar jadi “Oh My God (Astaga)” karena justru nampilin anak-anak nyasar terlantar pada terkapar di atas truk besar. Pasti bakal meledak tuh lagunya di pasar.
Sifat gila gue kumat waktu itu. Gue justru minta difoto sama Ubed dan Thrisna. Gue nyari background yang pas. Dan, akhirnya gue milih background sawah yang luas. Gue bisa dicap alayers nih. Tapi gue juga nggak pengen ngelewatin kesempatan berharga itu yang mungkin saja hanya terjadi beberapa kali saja di hidup gue.
Di perjalanan itu, ada beberapa anak-anak Punk Rock yang ketemu kita di jalan, dan mereka kasih salam sama gue dan temen-temen gue. Gue pun langsung balas salam mereka, meskipun gue ga kenal mereka.
Bagi gue, kehadiran Punk Rock emang seringkali dianggap meresahkan dan dikhawatirkan. Tapi, jauh di dalam hati gue yang berbicara, mereka itu adalah orang-orang yang sama seperti kita ini yang hanya saja hidup mereka gak seindah hidup kita. Mereka harus cari duit sendiri tanpa orang tua, hidupnya di jalanan. Bayangin sama kita yang tidur enak di atas kasur yang empuk tiap malam.
Tinggal keplok-keplok lampu bisa mati sendiri. Tinggal keplok-keplok ada pembantu dateng. Tinggal keplok-keplok bisa dimandiin pembantu (kalau mau sih). Tinggal keplok-keplok bisa disuapin pembantu. Tinggal keplok-keplok dicebokin pembantu (yang ini jangan, kasihan pembantunya). Hidup terasa lebih nikmat dengan keplok-keplok.
Kalau gue, tinggal keplok-keplok, nyamuk-nyamuk yang ngerubutin gue pada mati. Kamar gue kan banyak nyamuk.
Mungkin elo pernah nonton film “Punk in Love”..
Nah, tuh film yang juga sudah ngubah persepsi gue ke anak-anak Punk Rock.
Mereka sebetulnya kompak dan mereka selalu nyapa kawan seperjuangan mereka meskipun sebelumnya belum saling kenal. Rasa persaudaraan mereka sangat tinggi.
Kehidupan mereka di jalanan telah mengubah kehidupan mereka jadi seperti orang yang dianggap beringas oleh kita-kita. Emang sih, mereka suka minum-minum, tapi itu buat ngilangin rasa kesal mereka. Elo pasti juga tahu lagunya Last Child yang Diary Depresiku?
Gue gak habis pikir, gimana mereka ngejalanin hari-harinya dengan keadaan begitu?
Dan gue gak habis pikir juga, kenapa gue jadi cerita tentang Punk Rock gini?
Ini kan cerita gue..
Hah. Kembali lagi ke cerita gue.
Gue akhirnya sampai di Terminal Kudus pas Maghrib. Gue kira waktu itu sudah nggak ada angkot, tapi untungnya masih ada. Gue, Thrisna, dan Fandy langsung naik angkot yang jurusannya sampai ke Swalayan ADA, tempat gue nanti akan turun.
Setelah naik dan nunggu sebentar, angkot pun berjalan.
Thrisna dan Fandy sudah turun lebih dulu daripada gue.
Ketika sampai di Kudus Ext Mall, angkot tiba-tiba berhenti. Gue ditanya sama sopirnya.
“Lho, kamu turun dimana nak?”
“Di Swalayan ADA pak.”
“Wah, maaf ya nak, angkotnya cuma sampai di sini saja.”
Mampus.
Gue langsung nyari angkot lain, dan gue pun akhirnya dapet angkot lain yang masih kosong dan sepi.
Gue pun naik dan gue langsung kirim SMS ke Bapak gue untuk njemput di depan Swalayan ADA. Jaga-jaga karena ponsel gue saat itu lowbat.
Gue nunggu lama banget, dan pak sopir angkot masih dengan sadisnya ngebiarkan gue sendirian di angkotnya yang masih sepi dan masih nunggu penumpang lain naik.
Gue agak lega pas ada banyak penumpang yang naik angkot itu, sehingga gue nggak akan nunggu lagi. Tapi, pikiran gue salah. Pak sopir tetep aja nyari-nyari penumpang. Dan waktu yang terlewat untuk nunggu angkot yang hampir penuh itu untuk berangkat sudah hampir setengah jam.
Gue pun jadi tambah gelisah pas ponsel gue justru mati.
Sial.
Gue takut kalau Bapak gue marah gara-gara nunggu gue lama nggak datang-datang.
Gue pun dengan nekat bilang ke pak sopir yang lagi ada di pintu angkotnya, “Pak, cepetan dong. Gue udah ditunggu bapak gue nih.”
Si sopir dengan enaknya bilang sambil marah-marah, “Kamu ditunggu bapakmu, lha aku belum dapat penumpang, belum dapat uang.”
Karena gue udah keburu, gue pun bilang, “Ya sudahlah, gue turun saja daripada naik angkot yang disopiri orang mata duitan kayak bapak”
Sumpah. Gue labil banget waktu itu.
Gue ga nyangka masih ada orang yang mata duitan yang justru mentingin duit daripada orang kayak gue predikat anak sekolah yang nyasar pas malem-malem waktu itu, dan orang yang beginian saat itu justru ada di depan mata gue sendiri.
Gue pengen injak tuh kakinya pas gue turun dari angkotnya.
Tapi, gue ga bakal senekat itu. Dan, gue ga bakal sekasar itu, apalagi untuk bapak sopir yang tua itu yang justru harus gue kasihani.
Seperti di Pramuka, cinta alam dan kasih sayang sesama manusia.
Gue rela-relain jalan deh waktu itu. Mau gimana lagi, mau SMS ke bapak gue juga nggak bisa karena ponsel gue sudah mati duluan. Gue hanya pasrah sambil jalan-jalan sempoyongan. Dan, yang nggak enak, perut gue mules gak karuan waktu itu.
Gue harus jalan 3kilo yang mungkin ini nanti akan turunin berat badan gue berkilo-kilo. Gue jadi makin kurus.
Gue jalan sendirian malam itu masih pake seragam sekolah. Tapi, untung sih, seragam sekolah gue itu kayak seragam orang kerja, jadi gak bakal gue digunjing sama orang-orang yang gue lewatin dengan pikiran “anak sekolah kok pulang malem-malem”.
Tapi, tetep aja sih, ujung-ujungnya, gue pasti ntar juga pasti dianggap orang yang kabur dari rumah.
Gue udah bosen ngejawab pertanyaan tetangga-tetangga gue yang tiap hari kalau ketemu gue yang pulang Maghrib pasti nanya, “Sekolah apa kerja, kok sampe jam segini?”
Lama-lama kalau gue sudah nggak tahan dengan pertanyaan monotonnya itu, gue bakal jawab “habis mampir Las Vegas tadi. Capek banget. Tapi enak juga sih.”
Las Vegas adalah tempat karaoke terkenal dan terbesar di Kabupaten sebelah, yang tentu saja menjadi markas maksiat dan maksiut.
Yang jelas, gue bersyukur banget, ternyata di depan Swalayan ADA masih ada bapak gue yang sudah nunggu gue lama banget. Dan gue lega akhirnya bisa sampai rumah dengan selamat tanpa nyasar kemana-mana. Gue langsung mandi dan dengan jumawa gue langsung ngejalanin tugas mulia gue (boker).
Dan gue resmi mind-creet. Semua ini pasti gara-gara MAB yang gue makan.

Di malam minggu itu, gue santai-santai nikmatin waktu gue di rumah.
Gue seneng malam mingguan di rumah daripada keluar jalan. (Padahal, emang sebetulnya gue nggak punya gandengan untuk jalan keluar bareng)
Sambil nonton TV, gue ngilangin kecapekan dan kekesalan gue gara-gara bapak tadi.
Dan berhubung waktu itu mood gue lagi baik, gue sudah maafin kesalahan bapak tadi, dan gue maklum kalau emang cari duit itu susah. Tapi yang bikin gue gak terima, kenapa harus gue yang jadi korban keganasannya? -_-
Baru kali ini gue ngerasain pahitnya perjuangan ketika nuntut ilmu, pahitnya perjuangan ketika ngejar-ngejar cinta.
Oh iya, gue masih inget kata Arga, “Ayo ayamnya cepat ditangkep mus, ntar malah keburu diambil orang lho.. truslah berlari.. kalau jatuh ya jangan nangis.. haha..”
Ya, gue masih berdiri disini sambil memandangi foto Meima yang berpredikat ‘Ayam’. Dan gue akan mengejar ayam gue yang nyasar di bus kota dengan semangat ekstra. Horas..

0 komentar:

Posting Komentar