Selasa, 20 Desember 2011

Kutunggu Perawanmu (CHAPTER 6 : ADA CINTA DALAM BUS KOTA)

Antara seneng dan ngenes. Itulah apa yang gue rasakan saat ini.
Senengnya, kemaren tanggal 1 Desember gue resmi menjadi remaja sejati dan tentu saja menjadi laki-laki. Ya, umur gue sudah 17 tahun. Dan akhirnya, gue sekarang udah boleh nonton film horor yang sering pamer-pamerin tetek. Kalau ngenesnya, sampe tanggal 1 Desember yang seharusnya menjadi target batas akhir gue, gue nggak dapet nomor ponselnya Meima. Selain itu, gue juga seneng, karena baru mendapat kertas rapor gue yang cukup memuaskan. Bukan karena nilainya, tapi karena bisa dibuat untuk bungkus kacang rebus.

Syukurlah, perjuangan belajar gue yang sering gue lakukan di dalam bus pun akhirnya membuahkan hasil. Perjuangan gue mulai dari perjuangan melawan kemacetan sampai akhirnya telat dateng ke ruangan, sampai ketika gue belajar di bus sambil disodorin bokongnya om-om yang berdiri di samping tempat gue duduk dan bokongnya itu nutup-nutupin buku yang gue baca. Atau, saat gue nggak bisa konsen gara-gara di belakang tempat duduk gue ada ibu-ibu yang volume bicaranya keras cempreng bahkan sampai treble pula.
Gue mendapat peringkat 31 dari 24 siswa. Ya, gue tahu itu suatu peningkatan yang sangat sukses semenjak semester terakhir gue hanya mendapat ranking 67 dari 24 siswa.
Gue mau kasih selamat buat temen gue, Khan. Yang udah dapet peringkat 1 dengan nilai rata-rata 100, dan nilai membaca Al-Quran di pelajaran Agama sebanyak 901. Mungkin, karena dia sering puasa, jadi beruntung banget dia keruntuhan durian.
Pelajaran moral kali ini : “Bukan hanya pahala membaca Quran yang dikalikan 10 kali lipat, tapi nilai membaca Quran pun dapat dikalikan 10 kali lipat ketika kita sering berpuasa.”
Seneng banget si Khan saat rapor itu turun di tangan jahilnya yang pernah nggantungin triplek yang dibentuk angka 2 yang dia temukan di sekolah, bahkan triplek itu nggantung begitu saja di tas gue sampai gue baru nyadar pas di halte. Malu gue dilihatin sama orang-orang di jalan. Mereka pasti ngira, “gila nih anak, sekolah kok bawa sampah kemana-mana.”
Saat Khan sudah menerima rapor itu, dia teriak-teriak keras sampai setiap penjuru kelas mendengar. “Oey Mus, aku peringkat 1. OEY, AKU PERINGKAT 1..” *sambil nyekik dan ngoyak-ngoyak gue*. Selamat ya Khan. Gue turut bangga punya temen yang lebih pinter daripada Albert Einstein kayak elo. Mungkin di rumahmu ini baru ada syukuran besar-besaran ya? diumumin di TOA Masjid, dan langsung cewek-cewek (atau lebih tepatnya tante-tante) banyak dateng ke rumah elo buat nglamar elo. Hihihihihi..
Perjuangan saat tes yang pake LJK waktu itu sangat melelahkan. Harus bulatin penuh lingkaran sampai leher pegel dan kaku, dan sehabis tes kalau nolah-noleh malah hampir mirip robot gedek, nggak bisa nolah-noleh dengan nyaman.
Saat tes semesteran, gue jarang ketemu Meima. Cuma ketemu saat berangkat dan pulang sekolah di hari yang sama, tanggal 7 Desember 2011. Saat berangkat sekolah di dalam bus itu, gue cuma ketemu bentar aja karena dia langsung turun dari bus gara-gara waktu itu lagi macet (jangan berpikir yang tidak-tidak, yang macet ini arus kendaraan di jalan, bukan kedatangan bulannya), dan milih dianter bapaknya.
Ngomong-ngomong masalah Meima dan mantan calon bapak gue itu, kemarin Meima dan bapaknya habis kecelakaan. Untungnya, Meima dan bapaknya nggak kenapa-kenapa. Hanya mungkin, itu terjadi begitu saja karena bapaknya kepeleset oleh sebuah kerikil atau seonggok upil dari orang yang ngupil sembarangan di jalan.
Suatu hari nanti, kalau gue jadi polisi lalu lintas. Gue bakal buat aturan untuk nglarang ngupil di jalan sambil berkendara, selain larangan mainan hape. Kalau masih maksa nglanggar, gue bakal cabutin bulu hidungnya satu persatu.
Gue jadi kasihan sama bapaknya Meima yang harus nganterin anaknya sekolah ke luar kota selain biasanya Meima naik bus. Andai saja, gue sudah kenal sama bapaknya Meima, mungkin gue bisa sedikit maksa :
“Om, daripada om yang nganterin Meima berangkat sekolah terus selain naik bus, mendingan saya saja om. Saya rela kok, kan sejalur sama sekolah saya. Saya nggak minta ongkos kok om. Asal nanti direstuin ya om” *cengar-cengir*
“Kamu punya apa?”
“Lima kelebihan...!!!” *maksudnya sih mau nyodorin tangan kayak di iklan, eh malah kena dan nyodok dahi bapaknya si Meima*
Saat pulangnya, gue ketemu lagi sama Meima. Dan waktu itu pas gue mau naik bus, dia tiba-tiba muncul di samping gue kayak penampakan. Gue pun naik bus dan milih tempat yang masih kosong tiga. Gue duduk dan selang beberapa detik, Meima pun naik.
Di sebelah tempat yang gue dudukin, dia berdiri celingak-celinguk ke belakang, lalu lihatin gue yang masih berpose seperti biasa kalau ketemu dia semenjak tragedi meminta nomor hape itu, yaitu menyembunyikan tanda kegagalan gue darinya dengan menyandarkan kepala gue ke kursi depan. Setelah dia lihatin gue, dia tetep diem berdiri di tempat sambil celingak-celinguk ke belakang lagi. Lalu, sialnya dia nggak milih tempat duduk di samping gue, malah milih di samping seorang nenek yang tempat duduknya ada di belakangnya belakang tempat duduk gue. Apes....
Analisa gue sebagai seorang detektif yang sering interogasi kakek-kakek jompo, gue punya 2 kesimpulan.
Kesimpulan pertama : saat diem lalu lihat gue dan pergi. Itu berarti, ilustrasinya gini kalau gue jadi Meima >> Gue diem, tiba-tiba lihat anak ingusan duduk di samping tempat gue berdiri. “Eh gilak, ternyata ada anak ingusan ini. Cepet-cepet pergi ah, boro-boro ntar ketularan gilanya” *milih tempat duduk lain*
Kesimpulan kedua (yang sama dengan kenyataannya) : saat lihat gue lalu diem dan pergi. Itu berarti, dia sebetulnya pengen duduk di samping gue. Tapi, dianya masih mikir dua kali, kalau nantinya sebelah gue itu adalah temen gue. Lalu, dia pun milih tempat duduk lain..
Masuk akal bukan?
Dan akhirnya di sebelah gue justru didudukin sama Thrisna dan Maria. Di dalam bus itu, kita malah canda-candaan dan ketawa cekikak-cekikik. Nggak nyadar kalau lagi di bus umum.

Gara-gara gue jarang ketemu Meima saat tes semesteran itu, gue jadi lemes. Mungkin faktor lain karena penyakit cacingan gue ini makin parah. Nggak ada semangat, nggak ada gairah.
Seandainya, Meima adalah temen sekelas gue dan seruangan sama gue saat tes, mungkin semangat gue akan menggebu-gebu. Tapi, gue hilangkan pengandaian itu dan nggak berharap begitu, karena yang ada nanti gue malah bengong nglihatin dia sambil netesin air liur yang nantinya bakal basahin LJK gue.
Ulangan menggunakan LJK adalah mimpi buruk bagi gue. Gue masih inget, ketika kehilangan huruf ‘n’ di nama gue pas tes yang pernah gue lakukan dulu, karena gue kurang nebalin lingkaran huruf ‘n’ di nama gue.
Hari-hari saat tes semesteran saat itu pun berlalu, dan gue akhirnya berhasil bebas setelah beberapa hari disiksa oleh soal-soal yang tak punya peri-kemanusiaan dan peri-keadilan. Gue saat itu jadi sering nongkrong di depan ruang guru untuk dapetin info tentang nilai-nilai tes.
Pemandangan yang tak asing lagi ketika telah tiba saat pembagian nilai, ruang guru seperti kena keroyok massa satu sekolah. Pada senggol-senggolan hanya untuk pengen tahu nilai yang didapet yang ditampilkan di kertas dan ditempelin ke kaca. Untungnya, sekolah gue hanya memiliki sedikit populasi cewek. Untung sekali...
Saat itu, gue lagi duduk-duduk di deket kantor sekolah nunggu waktu pulang, dan melepas rasa pegal-pegal akibat ikut pengeroyokan ruang guru secara massal tadi. Tiba-tiba, ada kakak kelas deketin gue. Dia tiba-tiba ngomong ke gue.
“Gimana bos? Anak Bulung itu?”
“Hm? Ya nggak gimana-gimana”
“Udah dapet nomer hapenya belum?”
“Ya begitulah..”
“Itu emang anak Bulung kan? Dia anak basket, dan kayaknya tomboy..”
“Ya, dia emang agak tomboy orangnya..”
“Lha kamu ini asal rumahnya dari mana?”
“Bakalan Krapyak”
“Oh.. kalau sekolahmu asalnya dari mana?”
“Asal sekolah dari SMP 1 Kudus..”
“Ha? Masak? Anjrit.. Lha kalau anak Bulung itu, asalnya dari sekolah mana?”
“Dari SMP 1 Kudus..”
“(diulang lagi) Ha? Masak? Anjrit.. Enak kalau kamu ngomongin, kan kamu kakak kelasnya sendiri..”
“Iya juga sih...” “(dalam hati gue) eh, belum tahu dia...”
Sesudah percakapan yang singkat itu, kata-kata mutiara berupa “Anjrit” terus keluar dari mulutnya sambil agak ketawa.
Foto yang didapet Ubed saat ekspresi Meima kosong di bulan Oktober dulu pun, di deket Meima ada kakak kelas gue itu. Mungkin sejak saat itu dia jadi suka sama Meima. Selain gue yang waktu itu sudah nggak melakukan kebiasaan duduk depan di bus agar bisa deket Meima yang sering di depan, dia pun menggantikan kedudukan gue dan sering duduk di depan.
Pernah saat itu, dia duduk di belakang di samping gue, Thrisna, dan Fandy. Kita bertiga lagi ngomongin Meima, dianya lihat-lihat kita bertiga. Dan sejak saat itu, gue ngerasa kalau dia suka Meima juga.
Dan benar juga, akhirnya apa yang gue rasa selama ini dari dia ternyata benar. Dia suka sama Meima juga. Astaganagasarienakrasanya..
Lucu deh. Sekarang jadi ada 3 yang suka sama Meima dari sekolah gue. Mulai dari adik kelas gue sendiri yang biasanya main mata ke gue (nggak tahu alesannya apa). Lalu, gue yang sekarang kelas 2. Dan yang satunya, kakak kelas gue itu. Yah, kita lebih mirip sama perwakilan kelas dalam konferensi pengejaran cinta yang gila dan emang bikin gila.
Gue mikir, kenapa dia agak kaget kalau gue ini asalnya dari SMP 1 Kudus. Nggak cuma dia sih, tapi hampir banyak orang berpikir kalau gue ini bukan asal dari SMP 1 Kudus. Apa karena penampilan gue meragukan, atau mungkin karena muka gue yang justru lebih mengarah pada penampilan murid didikan om-om genit.
Hari ini, sebelum gue nggak bisa meluk-meluk kursi bus selama dua minggu karena liburan, gue pun melakukan aksi kenorakan di dalam bus. Gue tulis nama Meima di kursi depan tempat gue duduk. Ya paling tidak, itu menjadi saksi bisu bagi gue jika suatu saat ketika gue udah gedhe, gue naikin bus itu di tempat duduk yang sama, atau jika suatu saat Meima duduk di sana dan membacanya.

saksi bisu kenangan kegilaan gue di dalam bus

By the way on the way (ngomong-ngomong di perjalanan {gila dong}), bentar lagi, kayaknya bakalan ada pak Santa bagi-bagi hadiah di swalayan ADA deket rumah saat event Natal tahun ini. Gue masih inget waktu gue di Paragon Semarang sama temen-temen, waktu itu ketemu pak Santa bagi-bagi hadiah. Gue cuma dikasih permen beberapa butir.
Gue harus nyiapin semuanya buat ketemu pak Santa di swalayan ADA nanti agar gue bisa dapet hadiah yang lebih spesial. Gue akan minta sambil tarik-tarik jenggotnya dan meronta-ronta. “Santa, kasih gue ceweeeek!! Kasih gue cewek!! Cepeeettt!!!”

Ada kabar baik dan kabar buruk yang gue dapet selama bulan yang indah ini. Kabar baiknya, nomor ponsel Meima yang gue dapet dari majalah tahunan SMP gue akhirnya aktif. Gue selalu SMS dia tiap hari. Dan kabar buruknya, dia nggak bales SMS gue.
Apa emang dia nggak mau bales SMS yang bukan dari orang yang dia kenal? Barangkali, pas gue nanya ke dia suatu saat nanti tentang alasan kenapa dia nggak bales SMS gue, dia mungkin jawab “aku nggak punya pulsaaaaa.... *niru gaya di iklan* ”
Saat-saat ini, mungkin Meima memang belum bisa membagi nomor ponselnya ke semua orang. Mungkin dia belum mau membuka lowongan bagi cowok-cowok untuk bisa deket dengannya. Mungkin aja dia masih pengen sendiri, atau mungkin karena emang dia belum perawan.
Meima, kutunggu perawanmu. *ndongak ke atas sambil senyum pepsodent* (adoh!!! kejatuhan taik cecek...)

Terima kasih atas dukungan tersirat yang telah kau berikan.. Terima kasih karena engkau telah mengisi chapter2 di ceritaku.. Terima kasih atas apa yang kudapat hari ini.. Terima kasih banyak.. Meskipun engkau tak tahu rasa terima kasihku ini tertuju padamu, atau tak pernah tahu ungkapan terima kasihku.. Terima kasih, untuk dirimu yang diwakilkan oleh gambar ini..

0 komentar:

Posting Komentar