Selasa, 20 Desember 2011

Upil Yang Ditukar (CHAPTER 5 : ADA CINTA DALAM BUS KOTA)

Sudah beberapa minggu di bulan November ini gue jarang banget ketemu sama Meima. Jarang banget, malah biasanya seminggu hanya sekali ketemu.
Padahal rencana gue, gue harus bisa dapetin nomor ponselnya sebelum tanggal 1 Desember. Kenapa harus tanggal 1 Desember? Sebagian dari elo pasti tahu. Gue kasih tahu ya, tanggal 1 Desember itu hari yang diperingati dunia sebagai hari AIDS sedunia dan yang nggak kalah penting, banyak orang-orang ganteng yang lahir pada tanggal itu. (jangan protes).
Pernah suatu ketika, gue dan Thrisna pulang lebih dahulu daripada Meima, dan gue ninggal Ubed yang lagi nunggu Maria. Sehingga, Meima naik bus setelah bus yang gue naikin.
Nggak enaknya, Ubed dan Maria naik bus yang sama dengan Meima. Dan nggak enaknya lagi, Ubed milih tempat duduk di samping Meima.

Oh God.. -__-
Ubed bercerita di keesokan harinya dengan nada yang bangga dan ceria. Sementara gue hanya ngiri dan nyesek. Dia cerita ke gue, kalau di bus Meima nggak bisa diem, just alike a hen, you know?
Dia juga kasih tahu tentang ponsel Meima. Ponsel Meima adalah ponsel Sony Ericsson Touch Screen, yang saat gue googling ternyata tipenya XPERIA X10 Mini Pro. Berbeda dengan ponsel gue kan? Ponsel gue hanya ponsel sekarat yang rentan pada virus-virus dan kalau sudah dimasuki banyak data sering error. Apalagi ponsel gue juga bukan ponsel ‘tunyuk-tunyuk’. Gue pernah tunyuk layar ponsel gue dengan keras, malah layarnya pecah.
Ya, ponsel gue adalah Nokia 6600.
Ponsel super gede yang multifungsi, bisa dipakai buat nelfon, internet, main game, SMS, dan tentunya buat dilemparin ke kucing tetangga pun pasti kucingnya bisa mati. Ponsel gue pun pernah kehilangan vibrationnya, malah tinggal bunyi kayak orang mengejan (ngeden) pengen BAB. Tapi, setelah itu, vibrationnya balik lagi seperti semula.
Dari semua kekurangan ponsel gue, gue nggak mau ninggalin begitu saja ponsel yang sudah nemenin gue selama beberapa tahun ini. Gue rela nerima semua kekurangannya. Merasakan pahit manisnya hidup berdua, makan bareng, bercanda bareng, dan ketawa bareng sama ponsel gue. (sekarang elo pasti berpikir gue udah gila)
Lewat ponsel itu juga, gue dapet banyak informasi tentang Meima.
Diantaranya, gue tahu informasi dari Sekar kalau Meima itu ternyata adiknya temen gue (gak akrab sih) yang se-angkatan sama gue di SMP. Namanya Damas.
Gue juga tahu informasi kalau Ibunya Meima adalah guru SMP dari temen sekelas gue sendiri, Arif.
Lewat ponsel itu juga, gue pun bisa dapet agen baru untuk membantu gue bisa deket sama Meima. Dia adalah Vini. Temennya Meima yang biasanya berangkat sekolah bareng Meima dan satu bus sama gue. Dia juga pernah jadi saksi kenekatan pertama gue untuk dekat sama Meima.
Vini sudah baik sama gue karena mau membantu gue buat minta nomor ponselnya Meima. Tapi sayangnya kerja agen gue yang satu ini kurang maksimal karena saat itu dia jarang ketemu sama Meima.
Dia yang satu sekolah sama Meima saja jarang ketemu Meima. Apalagi gue yang beda sekolah? Apa mungkin Meima punya jurus menghilang? Apa mungkin Meima senang mengurung diri di toilet sehingga keberadaannya jarang diketahui?
Waktu terus berlalu. Hingga bulan November pun sampai di tanggal tuanya. Batas akhir rencana gue pun tinggal sebentar lagi.
Hari itu adalah hari Senin, tanggal 21 November 2011. Gue ketemu sama Meima di bus, dan tempat duduk gue ada di depan Meima pas, dan disisi gue ada Thrisna.
Gue sama Thrisna sedang merencanakan sesuatu agar pas tanggal itu juga, gue bisa dapetkan nomor ponsel Meima.
Gue pun punya rencana : Gue akan turun dari bus bareng Meima, dan setelah itu gue minta nomor ponselnya.
Dan, rencana pun gue jalankan dengan kenekatan. Agar gue nggak terkesan mupeng sama dia, gue pun turun dari bus dengan pintu yang berbeda dengan Meima. Gue turun dari pintu depan, dan Meima dari pintu belakang. Setelah gue turun, ternyata Meima belum juga turun. Gue nungguin. Dan akhirnya Meima turun juga.
Tapi apa yang terjadi? Dia justru berjalan agak cepat dan gue ditinggal. Gue mau ngejar dia, tapi malah sudah kehilangan jejak pas sampai di tikungan. Gue bengong dan tengak-tengok, nggak ada Meima. Dalam hati gue berpikir, benar juga nih Meima punya jurus menghilang.
Gue pun pasrah dan akhirnya gue membatalkan aksi gue dan langsung naik angkot yang ada di deket situ. Pas gue naik angkot itu, Meima justru keluar dari sebuah toko. Gue pun pengen turun dari angkot itu dan nyamperin Meima, tapi nasib gue berkata lain. Justru gue malah diajak ngobrol sama sopirnya. Si sopir cerita panjang lebar, tapi entah dia cerita apa gue nggak tahu. Gue nggak konsen sama obrolan gue sama pak Sopir itu. Gue ngeliat Meima dari dalam angkot, dan berpikir gimana caranya agar gue menghindar dari obrolan gue sama pak Sopir angkot itu. Pas gue ditanya respon oleh pak Sopir, gue cuma njawab “oh ya..” “oh nggak” “oh mungkin” “kok tahu?”.
Saat obrolan yang bertubi-tubi itu berhenti, gue pun mencoba menjalankan niat gue, tapi angkot yang gue tumpangi malah keburu jalan. Argh.. Siaaaalll..
Pak sopir, kenapa engkau hilangkan kesempatanku? Kenapa?
Inikah balasan seperti disebutkan dalam film “The Terminangkot : The Revenge of Pak Sopir” itu?
Hari itu gue pulang dengan tangan kosong, dan gue ngerasa sia-sia sudah turun bus di daerah yang jaraknya sangat jauh dari jarak ke rumah gue.
Setelah kejadian yang melelahkan itu, gue berharap gue bisa ketemu Meima lagi.
Dan harapan gue pun terkabul.
Hari itu adalah hari keberuntungan gue yaitu hari Kamis, tanggal 24 November 2011. Gue pulang sekolah lebih agak awal dari biasanya. Sehingga, saat pulang sekolah, gue pun berniat untuk nunggu Meima.
Gue tampil dengan kemasan baru dengan potongan rambut model deodorant style.
Gue nunggu di halte bareng sama Thrisna, Ubed, dan Fandy.
Waktu itu, sebetulnya sudah ada bus. Dan anak SMASA sudah pada pulang sekolah. Berarti, Meima juga sudah pulang sekolah. Fandy bilang ke gue, kalau Meima nantinya mungkin akan naik bus itu. Gue disuruh naik. Tapi gue nggak mau.
Begitupun Thrisna, bilang kalau Meima naik bus itu. Tapi gue masih ngotot nunggu Meima di halte. Pikiran gue waktu itu, Meima pasti akan mbonceng temennya sampai di halte sini.
Dan, akhirnya yang gue tunggu-tunggu pun dateng juga. Meima pun langsung naik ke bus itu, sontak aku dan Thrisna pun langsung naik ke bus. Di dalam bus, gue justru kehilangan jejak Meima. Sampai akhirnya, gue pun tahu letak dia duduk. Sayangnya, dia duduk di kursi 2 di samping orang gendut yang ternyata adalah rival gue di kompetisi Who Am I Quizzes di sekolah. Gue pun langsung duduk di seberang kursinya, di kursi 3.
Benar juga apa kata Thrisna dan Fandy, Meima naik bus itu. Tapi benar juga apa yang gue pikirkan, Meima mbonceng temennya ke halte.
Disamping tempat gue duduk di bus itu, ada 2 anak kecil yang kayaknya baru pulang sekolah. Kira-kira mungkin kelas 5-an.
Di belakang tempat gue duduk ada Fandy, sementara di belakang tempat duduk Meima ada Novi. Sungguh momen yang berharga dimana para temen gue akan melihat aksi mulia gue.
Gue nunggu waktu yang tepat untuk memulai obrolan dengan Meima. Gue tanya solusi ke temen-temen gue lewat SMS. Dan jawaban mereka semuanya positif. Termasuk untuk jawaban Thrisna yang saat itu ada di belakangnya belakang kursi tempat gue duduk.
Gue akhirnya melakukan kenekatan lagi untuk kali ini. Di belakang tempat gue duduk, ada banyak sekali anak yang se-sekolah sama gue. Tapi, gue nggak mikir hal itu jadi penghalang aksi gue.
Gue dan Thrisna saling bertukar informasi lewat SMS. Kita nggak lebih seperti detektif yang ditugaskan untuk memata-matai. Hanya saja, kita lebih mirip dengan detektif yang suka menginterogasi para jompo yang masih senang maksiat.
Gue pun ngobrol sama Meima setelah membayar transport bus. Sebetulnya sih gue nggak bayar, soalnya ada Ibu guru gue yang baik hati yang mau membayarin semua siswa sekolahnya yang naik bus itu. Lumayan.
Hukum Bokek : Nggak ada uang di saku, uang Ibu guru pun jadi.
Obrolan pun gue mulai.
“Dek, kamu adiknya Damas ya?”
“He’em”
Gue sebenernya sudah tahu kalau dia akan jawab sinis kayak gitu.
Gue sih pengennya obrolannya kayak gini, tapi ini pasti hanya mimpi.
Kalau dia jawab “lho kok tahu?”
“karena kau telah mendamaskan hatiku.”
“menggemaskan kali maksudnya”
“oh iya lupa.” (tampil bego)
Tapi itu hanya sebatas impian. Gue pun ngelanjutin pembicaraan.
“Kok nggak ngikut masnya saja ke SMA 1 Kudus? Kan enak, bisa satu sekolah. Nggak harus sampai luar kota begini. Apalagi kalau macet, gimana?”
Meima malah agak ketawa pas gue tanya kayak begitu. Lho kok? Padahal gue nggak sedang ngelawak.
Setelah itu, dia diam. Gue juga diam.
Pelajaran moral : Diam itu emas. Tapi, tak jarang juga, diam itu karena sedang nahan emas.
Gue kehabisan stok topik pembicaraan. Begonya, gue nggak nyiapin skenarionya.
Gue pun tanya solusi ke Thrisna. Pas gue saling tukar informasi sama Thrisna, ternyata diam-diam Meima ngelirik ke ponsel gue. Mungkin dia tahu, kalau dia lagi jadi korban sasaran detektif-detektif ganteng.
Untungnya, gue tahu kalau Meima ngelirik ke ponsel gue. Jadi, ponsel gue pun gue hadang-hadangin dari pandangan Meima.
Gue dapet topik pembicaraan lagi.
“Dek, semesterannya SMASA tanggal berapa? Tahu nggak?”
“Nggak tahu sih.”
“Lho masa nggak dikasih tahu?”
“Kayaknya sekitar tanggal 1 Desember mungkin.”
Gue kehabisan topik pembicaraan lagi.
Seperti yang gue lakukan sebelumnya, gue pun tanya solusi ke Thrisna. Dan gue dapat topik pembicaraan lagi. Karena arus kendaraan di jalanan saat itu sedang macet, gue pun ngangkat topik itu.
Dari yang gue lihat, Meima sepertinya agak jengkel melihat pemandangan kemacetan ini. Dia malah tidur, menyandarkan kepalanya di kursi depan. Padahal semestinya mau gue ajak ngobrol lagi.
Selang beberapa menit, dia pun bangun. Keadaan jalanan masih nggak teratur.
Di saat pas tepat setelah dia bangun, gue nanya ke dia lagi.
“Dek, kalau jalannya macet gini kamu naik apa?”
Sambil memancarkan muka kusutnya, dia jawab.
“Aku dianter sama ayah”
“Pernah telat?”
“Nggak pernah sih sampai saat ini”
“Oh...”
Sehabis obrolan itu, dia balik tidur lagi, menyandarkan kepalanya di kursi depan.
Gue saat itu sudah nggak tahan pengen minta nomor ponselnya langsung. Tapi, gue nggak mau ganggu istirahatnya. Tapi, di satu sisi, gue bener-bener pengen. Inikah dilema?
Gue pun nanya ke Thrisna apakah ini waktu yang tepat buat minta nomor ponselnya Meima? Dia jawab positif.
Untung saja, waktu itu ada pengamen yang sedang nyanyi dan berdiri diantara tempat duduk gue dan tempat duduk Meima di seberang.
Meima pun bangun.
Gue pengen minta nomor ponselnya Meima saat itu juga. Eh gue malah dihadangin sama pengamen itu. Sialan.
Setelah keadaannya agak tenang dari pengamen bersuara alto itu, dan muka gue nggak dihadangi sama pengamen itu, gue pun menjalankan aksi itu.
“Dek, boleh minta nomor ponselnya nggak?”
Setelah gue ngomong gitu, Meima ngambil ponselnya yang dia taruh di saku.
Yes. Gue sudah berpikiran usaha gue selama ini sudah berhasil karena Meima sudah ngambil ponselnya.
Tiba-tiba dengan muka bego, Meima justru balik tanya “Apa?”
Ternyata Meima nggak denger omongan gue. Maklum sih, karena pengamen yang lagi nyanyi diantara tempat duduk gue dan tempat duduknya Meima sangat bergairah menggenjreng gitarnya, hampir mirip penyanyi rocker kelaparan.
Gue pun perjelas omongan gue.
“Minta nomor hape dek, boleh?”
Dia menggeleng-gelengkan kepala sambil senyum.
“Maaf mas, nggak bisa. Yang punya nomor hapeku dari temenku sekelas saja cuma 1 kok. Itu saja temenku perempuan.”
”Kampret”, kata gue dalam hati.
Kepala gue langsung berat. Badan gue panas semua. Muka gue memerah. Dan, gue akhirnya lagi nyadar kalau gue ternyata laki-laki.
Gue harus nahan rasa malu ini di depan Meima dan di depan temen-temen gue.
Momen yang seharusnya berharga ini justru menjadi momen yang memalukan dan menyedihkan bagi gue. Bahkan temen gue malah kasihan sama gue. So what??
Karena rasa malu gue yang tinggi itu, dan gue nggak mau ekspresi kekecewaan gue dilihat Meima, gue pun menyembunyikan muka gue dibalik tubuh pengamen yang menghadangi gue tadi.
Setelah request nomor hape itu, gue sama dia nggak saling ngobrol lagi di bus itu. Sampai akhirnya dia mau turun pun, gue nggak nyamperin dia.
Gue hanya naruh kepala gue yang berat ke kursi depan tanda kegagalan gue. Sebagai seorang lelaki yang sudah ngejar-ngejar gebetan selama hampir 193,5621 tahun, gue ngerasa bener-bener gagal.
Terlepas dari malapetaka yang gue alami, untung saja, di samping gue itu adalah anak kecil yang belum tahu masalah beginian. Kalau temen satu sekolah ataupun bapak-bapak atau juga ibu-ibu, pasti bakalan tambah malu gue. Tapi, gue ngerasa puas bisa menunjukkan pada anak tadi gimana cara ngedeketin cewek yang benar, meskipun akhirnya gue gagal.
Tenanglah anak kecil, gue udah sesatkan otak kalian.
Ketika gue turun dari bus, hujan turun dengan derasnya. Membasah-kuyupkan gue waktu itu. Bener-bener ngenes apa yang terjadi kepada gue. Sudah awalnya kecewa, eh malah kehujanan. Oh God, mungkin inilah kutukan lagu “November Rain”?
Berakhirnya cerita pengejaran nekat dan gila gue terhadap Meima yang akhirnya hanya berbuah malapetaka, bukan berarti harus habis juga sekuel cerita gue cukup sampai disini.
Masih ada sekitar 2 tahun lagi untuk bisa akrab dengan Meima, tapi terlepas dari targer nggebet dia.
Seperti Tro*icana Slim yang menjaga manisnya hidup dulu, sekarang, dan selamanya,
Meima pun menjaga harga diri dan ketomboyannya dulu, sekarang, dan selamanya..
At all, Gue dan Meima kali ini benar-benar begitu berbeda.
Gue tak lebih seperti seonggok upil yang terbuang dari lubang hidung, dan dia adalah permata berkilau nan indah.
Tuhan, apakah nasib gue ini tertukar dengan orang lain? Kenapa Tuhan? Kenapa?
Kalau nasib gue ketukar sama orang lain, jadi “Upil yang Ditukar” dong. Kalau dibuat sinetron, pasti bakal menangin Panasonic Award. Benar juga. Upil yang Ditukar.

0 komentar:

Posting Komentar